Senjata: Bajra. Warna : Putih. Urip : 5. Aksara : SA. Dewa : Mahesora. Arah : Tenggara Hotel adalah suatu jenis akomodasi yang mempergunakan sebagian atau seluruh bangunan, untuk menyediakan jasa penginapan, makan dan minum 77 tentang usaha dan klasifikasi hotel, ditetapkan bahwa penilaian klasifikasi hotel secara minimum didasarkan SiapaTahu Bapak / Ibu Ingin Berkenalan Silakan Hubungi WA atau Telpon di bawah ini. Telpon : +6287702499878. WhatsApp Otomatis : +6287702499878. sebelum mempelajari mantra penrangan atau menjadi tukang terang ( sebutan orang bali ) maka calan dari PAWANG HUJAN wajib hukumnya mempelajari. PENGRAKSA JIWA : adalah sebuah mantra yang di pergunakan 1) [Mil]senjata untuk melontarkan proyektil; (2) pa-sukan tentara yang bersenjata berat; (3) ilmu tentang mempergunakan senjata. baris kehormatan. barisan (tentara) yang khusus disiapkan untuk menghormati tamu agung atau dalam upacara peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan. barisan. (kata benda) (1) deretan; banjaran; jajaran; Merekamenanyakan tentang umur perawi, tempat kediamannya, sejarah mereka belajar, sebagai mana mereka menanyakan tentang peribadi perawi sendiri agar mereka mengetahui tentang kemustahilannya dan kemunqathii'annya, tentang kemarfu'annya dan kemauqufannya. Memang sejarahlah senjata yang ampuh untuk menghadapi para pendusta. ViewUU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Kepemilikan Senjata Api dan Bahan HKUM 4500 at Terbuka University. PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG DARURAT REPUBLIK mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, modul Ilmu Perundang-Undangan Dhanurwedasering diterjemahkan sebagai ilmu militer atau ilmu penahan. Dhanurweda diajarkan terutama kepada mereka yang menjadi calon pemimpin. Sebagai ilmu dhanurweda memuat keterangan tentang traning, mengenai acara penerimaan senjata, acara latihan pemakaian senjata dan penggunaan senjata. Dan penulis yang dikenal adalah Wiswamitra tq399YB. Pranala link artileri n 1 Mil senjata untuk melontarkan proyektil; 2 pa-sukan tentara yang bersenjata berat; 3 ilmu tentang mempergunakan senjata ✔ Tentang KBBI daring ini Aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI ini merupakan KBBI Daring Dalam Jaringan / Online tidak resmi yang dibuat untuk memudahkan pencarian, penggunaan dan pembacaan arti kata lema/sub lema. Berbeda dengan beberapa situs web laman/website sejenis, kami berusaha memberikan berbagai fitur lebih, seperti kecepatan akses, tampilan dengan berbagai warna pembeda untuk jenis kata, tampilan yang pas untuk segala perambah web baik komputer desktop, laptop maupun telepon pintar dan sebagainya. Fitur-fitur selengkapnya bisa dibaca dibagian Fitur KBBI Daring. Database utama KBBI Daring ini masih mengacu pada KBBI Daring Edisi III, sehingga isi kata dan arti tersebut merupakan Hak Cipta Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemdikbud dahulu Pusat Bahasa. Diluar data utama, kami berusaha menambah kata-kata baru yang akan diberi keterangan tambahan dibagian akhir arti atau definisi dengan "Definisi Eksternal". Semoga semakin menambah khazanah referensi pendidikan di Indonesia dan bisa memberikan manfaat yang luas. Aplikasi ini lebih bersifat sebagai arsip saja, agar pranala/tautan link yang mengarah ke situs ini tetap tersedia. Untuk mencari kata dari KBBI edisi V terbaru, silakan merujuk ke website resmi di ✔ Fitur KBBI Daring Pencarian satu kata atau banyak kata sekaligus Tampilan yang sederhana dan ringan untuk kemudahan penggunaan Proses pengambilan data yang sangat cepat, pengguna tidak perlu memuat ulang reload/refresh jendela atau laman web website untuk mencari kata berikutnya Arti kata ditampilkan dengan warna yang memudahkan mencari lema maupun sub lema. Berikut beberapa penjelasannya Jenis kata atau keterangan istilah semisal n nomina, v verba dengan warna merah muda pink dengan garis bawah titik-titik. Arahkan mouse untuk melihat keterangannya belum semua ada keterangannya Arti ke-1, 2, 3 dan seterusnya ditandai dengan huruf tebal dengan latar lingkaran Contoh penggunaan lema/sub-lema ditandai dengan warna biru Contoh dalam peribahasa ditandai dengan warna oranye Ketika diklik hasil dari daftar kata "Memuat", hasil yang sesuai dengan kata pencarian akan ditandai dengan latar warna kuning Menampilkan hasil baik yang ada di dalam kata dasar maupun turunan, dan arti atau definisi akan ditampilkan tanpa harus mengunduh ulang data dari server Pranala Pretty Permalink/Link yang indah dan mudah diingat untuk definisi kata, misalnya Kata 'rumah' akan mempunyai pranala link di Kata 'pintar' akan mempunyai pranala link di Kata 'komputer' akan mempunyai pranala link di dan seterusnya Sehingga diharapkan pranala link tersebut dapat digunakan sebagai referensi dalam penulisan, baik di dalam jaringan maupun di luar jaringan. Aplikasi dikembangkan dengan konsep Responsive Design, artinya tampilan situs web website KBBI ini akan cocok di berbagai media, misalnya smartphone Tablet pc, iPad, iPhone, Tab, termasuk komputer dan netbook/laptop. Tampilan web akan menyesuaikan dengan ukuran layar yang digunakan. Tambahan kata-kata baru diluar KBBI edisi III Penulisan singkatan di bagian definisi seperti misalnya yg, dng, dl, tt, dp, dr dan lainnya ditulis lengkap, tidak seperti yang terdapat di KBBI PusatBahasa. ✔ Informasi Tambahan Tidak semua hasil pencarian, terutama jika kata yang dicari terdiri dari 2 atau 3 huruf, akan ditampilkan semua. Jika hasil pencarian dari daftar kata "Memuat" sangat banyak, maka hasil yang dapat langsung di klik akan dibatasi jumlahnya. Selain itu, untuk pencarian banyak kata sekaligus, sistem hanya akan mencari kata yang terdiri dari 4 huruf atau lebih. Misalnya yang dicari adalah "air, minyak, larut", maka hasil pencarian yang akan ditampilkan adalah minyak dan larut saja. Untuk pencarian banyak kata sekaligus, bisa dilakukan dengan memisahkan masing-masing kata dengan tanda koma, misalnya ajar,program,komputer untuk mencari kata ajar, program dan komputer. Jika ditemukan, hasil utama akan ditampilkan dalam kolom "kata dasar" dan hasil yang berupa kata turunan akan ditampilkan dalam kolom "Memuat". Pencarian banyak kata ini hanya akan mencari kata dengan minimal panjang 4 huruf, jika kata yang panjangnya 2 atau 3 huruf maka kata tersebut akan diabaikan. Edisi online/daring ini merupakan alternatif versi KBBI Offline yang sudah dibuat sebelumnya dengan kosakata yang lebih banyak. Bagi yang ingin mendapatkan KBBI Offline tidak memerlukan koneksi internet, silakan mengunjungi halaman web ini KBBI Offline. Jika ada masukan, saran dan perbaikan terhadap kbbi daring ini, silakan mengirimkan ke alamat email gmail com Kami sebagai pengelola website berusaha untuk terus menyaring iklan yang tampil agar tetap menampilkan iklan yang pantas. Tetapi jika anda melihat iklan yang tidak sesuai atau tidak pantas di website ini silakan klik Laporkan Iklan Kemajuan bioteknologi selayaknya menyumbangkan manfaat untuk kesejahteraan manusia serta harus mempertimbangkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Hal ini bertentangan dengan penggunaan senjata biologis sebagai senjata yang mampu menjadi pemusnah kajian filsafat, penggunaan senjata biologis ini dapat dipandang menurut pandangan aksiologi yaitu teori yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh dan menujukkan kaidah-kaidah yang harus kita perhatikan dalam menerapkan ilmu menjadi hal yang praktis. Aksiologi memuat pemikiran tentang masalah nilai-nilai termasuk nilai-nilai moral, agama, dan nilai keindahan. Aksiologi mampu memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan kegunaan ilmu pengetahuan, hubungan antara kegunaan dan kaidah moral, penentuan objek sesuai kaidah moral, dan hubungan antara teknik dan prosedur metoda ilmiah dengan norma-norma moral. Dalam hal ini penerapan teknologi rekayasa genetika dalam pembuatan senjata biologis pemusnah masal harus mempertimbangkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Jurnal Filsafat Indonesia, Vol 1 No 1 2018 ISSN E-ISSN 2620-7982, P-ISSN Jurnal Filsafat Indonesia 65 Pandangan Aksiologi Terhadap Riset Dan Aplikasi Senjata Biologis Euis Erlin Program Studi Pendidikan Biologi,FKIP Universitas Galuh Ciamis e-mail erlin123 Abstract Kemajuan bioteknologi selayaknya menyumbangkan manfaat untuk kesejahteraan manusia serta harus mempertimbangkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Hal ini bertentangan dengan penggunaan senjata biologis sebagai senjata yang mampu menjadi pemusnah kajian filsafat, penggunaan senjata biologis ini dapat dipandang menurut pandangan aksiologi yaitu teori yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh dan menujukkan kaidah-kaidah yang harus kita perhatikan dalam menerapkan ilmu menjadi hal yang praktis. Aksiologi memuat pemikiran tentang masalah nilai-nilai termasuk nilai-nilai moral, agama, dan nilai keindahan. Aksiologi mampu memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan kegunaan ilmu pengetahuan, hubungan antara kegunaan dan kaidah moral, penentuan objek sesuai kaidah moral, dan hubungan antara teknik dan prosedur metoda ilmiah dengan norma-norma moral. Dalam hal ini penerapan teknologi rekayasa genetika dalam pembuatan senjata biologis pemusnah masal harus mempertimbangkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Keywords Aksiologi, Senjata Biologis 1. Pendahuluan Berkembangnya ilmu pengetahuan akan seirama dengan tumbuh kembangnya peradaban umat manusia. Melihat dari sebuah perjalanan sejarah, ilmu pengetahuan sains mengalami perkembangan yang sangat drastis dari masa ke masa. Dari awal tunbuhnya sains sampai berkembangnya sains, para ilmuwan tak pernah behenti berusaha ingin menemukan sesuatu yang baru dan selalu mencoba bagaimana ia mendapatkan sebuah sains yang belum pemah ada di zaman dahulu dan sekarang. Seiring dengan perkembangan ilmu tersebut, maka peran ontologi, epistimologi ,dan aksiologi senantiasa mewamai ilmu tersebut Peradaban manusia sejak kemunculannya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkat perkembangan ilmu pengetahuan ini, manusia dapat lebih mudah memenuhi kebutuhan hidupnya, menggapai cita-cita dan ambisinya maupun merealisasikan sesuatu yang sebelumnya dianggap sebagai sesuatu yang sulit dapat dilaksanakan. Kemudahan yang diperoleh dapat berupa kemudahan dalam bidang kesehatan, pengangkutan pemukiman, pendidikan, kesehatan, komunikasi bahkan sampai alat-alat teknologi canggih seperti persenjataan Suriasumantri, 2010. Kemudahan dalam kehidupan manusia akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membangun peradaban baru umat memberikan kemudahan dan kesejahteraan kehidupan manusia. Namun, kemajuan itu tidak selamanya membawa berkah tetapi juga dapat menyebabkan malapetaka dan kesengsaraan, bahkan boleh dianggap sebagai hukuman bagi umat manusia. Sejak awal sejarah perkembangannya, ilmu telah dikaitkan dengan tujuan perang. Fakta ini dapat menimbulkan gejala dehumanisasi bahkan bisa meniadakan hakikat manusia itu sendiri sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai mahluk sosial memiliki kewajiban untuk mensejahterakan dirinya, keluarga dan lingkungannya. Tetapi, sifat keserakahan manusia telah membawa pada sifat-sifat untuk menguasai orang lain dan bahkan menguasai dunia untuk kepentingan diri dan tujuan politiknya. Sifat keserakahan ini menyebabkan manusia mencari cara yang paling mudah dengan berbagai jalan seperti menggunakan senjata untuk menjajah hak-hak orang lain atau negara pengetahuan telah menghantarkan manusia pada penguasaan teknologi dan mempermudah kehidupan manusia. Dengan teknologi, manusia dapat membuat senjata yang canggih yang dapat Jurnal Filsafat Indonesia, Vol 1 No 1 2018 ISSN E-ISSN 2620-7982, P-ISSN Jurnal Filsafat Indonesia 66 memusnahkan umat manusia lain. Salah satu hasil ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang persenjataan adalah senjata biologi. Senjata berbahaya ini dapat menimbulkan kehancuran dan kerusakan yang teramat dahsyat. Senjata biologis sering disebut sebagai “senjata nuklir orang miskin”. Biaya maupun teknologi yang diperlukan untuk membuat senjata biologis jauh lebih rendah dan mudah dibanding senjata nuklir atau kimia. Walaupun demikian, efek penghancuran massanya tidak kalah hebat dibanding kedua senjata tadi. Menurut perhitungan Office of Technology Assessment di Konggres Amerika pada tahun 1993, 100 kg spora bakteriBacillus anthracis yang disebarkan di atas ibukota Washington bisa menimbulkan korban 3 juta jiwa. Dalam kenyataannya, penyebaran bakteri serupa dari instalasi pembuatan senjata biologis Rusia di kota Yekaterinburg pada tanggal 2-3 April 1979 telah menelan korban tewas „puluhan ribu jiwa‟ di daerah sekitarnya menurut laporan Union for Chemical Safety. Kenyataan ini telah menjadi bagian dalam melahirkan pemikiran tentang hakikat ilmu dalam filsafat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah selayaknya memberikan dampak positif pada kehidupan manusia berupa ilmu pengetahuan dan teknologi yang didampingi oleh nilai-nilai moral. Bahasan tentang moral, etika penggunaanteknologi senjata biologis akan dibahas dalam artikel ini ,dengan tujuan untuk memberikan kesadaran kepada kita tentang bahaya senjata biologis apabila digunakan untuk mencapai ambisi dan cita-cita manusia untuk menguasai manusia lainnya dengan cara yang salah. Perjanjian di tingkat internasional yang melarang penggunaan senjata biologis dimulai sejak Geneva Protocol tahun 1925. Akan tetapi, sejarah memperlihatkan bahwa pengembangan senjata biologis tetap berlanjut. Salah satu contoh yang terdokumentasi adalah penggunaan senjata biologis oleh tentara Jepang dalam perang dunia ke-2 di Cina. Untuk itu, pada tahun 1972 disepakati perjanjian Biological and Toxin Weapon Convention BTWC yang disponsori oleh PBB. Dalam perjanjian ini, lebih ditegaskan lagi mengenai “pelarangan dalam pengembangan, pembuatan dan penyimpanan segala jenis senjata biologis”. Sampai saat ini tak kurang dari 140 negara telah menandatangi perjanjian ini, termasuk Indonesia, Amerika, dan tetapi kelemahan utama BTWC adalah tidak adanya kesepakatan bersama untuk pengawasan dan pembuktian, sehingga terbukti masih ada negara yang melakukan pelanggaran ,mengembangkan senjata biologis walaupun ikut menandatangani persetujuan tersebut. Penggunaan senjata biologi ini, akan dikaji secara aksiologi akan memberikan pandangan dari aspek moral. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai yang berkaitan dengan penggunaan dari pengetahuan yang diperoleh. 2. Metode Kajian ini dilakukan dengan studi literatur dari beberapa sumber yang relevan. Kajian-kajian tentang berbagai informasi senjata biologis, baik mengenai jenis,kerugian, bahaya, pengembang dan penggunanya disajikan pada artikel ini , lalu dikaji dengan pandangan secara aksiologi yang ditinjau dari segi moral, segi kemanusiaan. 3. Hasil dan Pembahasan Terminologi Aksiologi Aksiologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang orientasi atau nilai suatu kehidupan. Aksiologi disebut juga teori nilai karena ia dapat menjadi sarana orientasi manusia dalam usaha menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental, yakni bagaimana manusia harus hidup dan bertindak? Yang pada akhirnya teori nilai ini melahirkan etika dan estetika. Secara moral aksiologi dapat dilihat dari adanya peningkatan kualitas kesejahteraan dan kemaslahatan umat pada perkembangan keilmuan. Nilai-nilai bertalian dengan apa yang memuaskan keinginan atau kebutuhan seseorang, kualitas dan harga sesuatu atau appreciative respon Adib , 2010 . Kata aksiologi secara bahasa berasal dari kata Yunani, axion; nilai dan logos; ilmu, yang berarti teori tentang nilai value. Pertanyaan masalah ini menyangkut antara lain untuk apa pengetahuan ilmu ini digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana kaitan metode ilmiah yang digunakan dengan norma-norma moral dan profesianal Vardiansyah D dalam SanprayogiM, Chaer T, 2017, 2008 Aksiologi memiliki sebuah makna sebagai value dan valuation. Dalam pengertian sempit, nilai dapat memiliki arti sebagai sesuatu yang baik, menarik, dan bagus. Adapun dalam pengertian luas, nilai memiliki makna sebagai suatu kewajiban, kebenaran, dan kesucian. Nilai sebagai kata benda konkret, contohnya ketika kita berkata kepada sesuatu yang bernilai Jurnal Filsafat Indonesia, Vol 1 No 1 2018 ISSN E-ISSN 2620-7982, P-ISSN Jurnal Filsafat Indonesia 67 seperti nilainya, nilai dia, dan sistem nilai. Nilai digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan dinilai. Jalaludin dan Idi, 1997106. Nilai juga lebih menunjukkan kepercayaan tentang baik dan buruk dari seseorang. Dengan demikian nilai bagi seseorang itu merupakan pandangan atau anggapan atau kepercayaan mengenai sesuatu itu baik atau buruk. Pendapat lain tentang aksiologi telah dikemukakan oleh Suriasumantri 2010 dan Firman 2018 yang menyatakan bahwa aksiologi adalah teori yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang juga menujukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam menerapkan ilmu menjadi hal yang praktis. Aksiologi memuat pemikiran tentang masalah nilai-nilai termasuk nilai-nilai ke-Tuhanan. Misalnya nilai moral, nilai agama, nilai keindahan estetika. Aksiologi mengandung pengertian lebih luas dari etika atau higher values of life nilai-nilai kehidupan yang bertaraf tinggi. Aksiologi memberikan jawaban atas beberapa pertanyaan seperti untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimanakah kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau profesional?” Hasil kemajuan teknologi dapat membawa sebuah negara ke arah kemajuan dalam berbagai bidang, baik sosial, ekonomi dan persenjataan. Kemajuan tersebut membawa banyak perubahan kebiasaan, tradisi dan budaya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terdapat lima hal yang telah berubah selama periode perkembangan teknologi di dunia diantaranya 1 perubahan-perubahan dalam struktur industri berupa meningkatnya sektor jasa dan peranan teknologi canggih pada bidang manufaktur, 2 perubahan-perubahan dalam struktur pasar berupa pasar persenjataan, 3 pengelolaan bisnis menjadi semakin beragam, 4 perubahan-perubahan dalam struktur kepegawaian berupa tenaga professional yang telah terlatih dalam bidang teknik menjadi semakin meningkat, dan 5 perubahan-perubahan struktur masyarakat berupa meningkatnya jumlah penduduk usia tua dan konsep “keluarga besar” dalam proses diganti dengan konsep “keluarga kecil”. Perubahan-perubahan dalam nilai-nilai sosial berupa penghargaan yang lebih tinggi terhadap keuntungan secara ekonomis daripada masalah-masalah keadilan, meningkatnya kecenderungan masyarakat untuk bersikap individualistik dan semakin merajalelanya peperangan dan persenjataan. Dalam bidang industri persenjataan telah lahir persenjataan canggih yang salah satunya dalam bentuk senjata biologis. Perkembangan senjata ini telah mendominasi salah satu hasil perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Perkembangan Riset dan Aplikasi Senjata Biologis Proses riset dimaknai sebagai wadah pergulatan yang dilalui oleh peneliti. Peneliti akan menemukan jawaban atas segala hal yang diajukan dalam rangka menemukan jawaban untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dalam proses penelitian inilah sesungguhnya akan terlihat uji coba atas kemampuan dan ketrampilan peneliti untuk mengukur sejauhmana peneliti berkualitas atas riset yang dilakukan. Hasil riset ini berupa temuan dan teknologi tepat guna baik berupa barang, benda dan hasil teknologi canggih seperti peralatan persenjataan perang seperti senjata kimia. Dalam banyak hal, seringkali dijumpai persiapan-persiapan atau bekal pra riset yang banyak mengalami perubahan sebagai akibat dari situasi dan kondisi lapangan yang memberikan tuntutan lain seperti tujuan politik dan cita-cita pemimpin. Contoh yang seringkali dijumpai adalah terjadinya penemuan-penemuan hasil teknologi yang menimbulkan masalah baru yang menjadi masalah dalam penelitian dan diluar prediksi dalam rancangan penelitian sebelumnya. Hal ini sepenuhnya tergantung pada peneliti untuk melanjutkan atau menata ulang risetnya. Aksiologi dalam riset bertujuan agar riset yang dilakukan bermanfaat bagi kemaslahatan hidup manusia, baik secara teoritis atau akademik maupun secara empirik. Nilai manfaat dari ilmu pengetahuan sebaiknya terpikirkan sejak peneliti memulai pra riset. Seringkali kemanfaatan riset ini baru terpikirkan dan digarap pada penyusunan akhir-akhir penulisan laporan penelitian. Padahal secara eksplisit maupun implisit, nilai manfaat selalu menyertai setiap langkah raiset. Peneliti memiliki kewajiban moral dalam memikirkan manfaat setiap riset yang akan dilakukannya. Dalam setiap rancangan penelitian perlu dipikirkan manfaat dan tujuan penelitian. Kewajiban moral dan sosial dapat diaplikasikan melalui tujuan penelitian dan manfaat yang akan menjadi kontribusi terhadap kehidupan manusia. Nama lain yang sering digunakan dalam pengertian nilai manfaat adalah kontribusi penelitian atau kegunaan penelitian. Sebaiknya Jurnal Filsafat Indonesia, Vol 1 No 1 2018 ISSN E-ISSN 2620-7982, P-ISSN Jurnal Filsafat Indonesia 68 tujuan dan manfaat penelitian ini mengandung dua aspek manfaat yaitu aspek-aspek teoritis dan praktis. Manfaat ini akan terjelma dalam hasil riset baik itu penelitian literatur maupun penelitian lapangan. Bahaya Senjata Biologi Bagi Umat Manusia Senjata biologis yaitu senjata yang mengandung bahan-bahan biologi atau mikroba seperti virus, bakteri, jamur atau toksin dari makhluk hidup yang dapat menimbulkan penyakit atau kematian pada manusia atau ternak. Beberapa jenis mikroba yang dapat digunakan sebagai senjata biologis antara lain, Bacillus anthracis, Yersinia pestis, Clostridium botulinum, Mycobacterium tuberculosis, virus variola, virus ebola , virus polio dll. Mikroba-mikroba ini dapat masuk dan keluar tubuh manusia melalui berbagai organ tubuh, saluran pernapasan, saluran pencernaan, saluran kemih, kulit atau melalui organ lainnya. Infeksi mikroba-mikroba ini akan menimbulkan gejala-gejala klinik yang spesifik untuk setiap mikroba Jawetz,1996 ; Joklik,1992. Menurut perhitungan Office of Technology Assessment di Kongres Amerika pada tahun 1993, 100 kg spora bakteri Bacillus anthracis yang disebarkan di atas ibukota Washington, bisa menimbulkan korban 3 juta jiwa. Dalam kenyataannya, penyebaran bakteri serupa dari instalasi pembuatan senjata biologis Rusia di kota Yekaterinburg pada tanggal 2-3 April 1979 telah menelan korban tewas „puluhan ribu jiwa‟ di daerah sekitarnya menurut laporan Union for Chemical Safety. Berbeda dengan senjata nuklir, senjata biologis punya banyak jenis.. Senjata biologis menggunakan agen hayati seperti virus dan bakteri, jumlahnya cenderung bertambah dengan munculnya berbagai macam penyakit infeksi fatal baru seperti virus Ebola, virus Lassa dan lain-lain. Namun demikian, agen yang benar telah dipakai sebagai senjata biologis adalah bakteri yang telah lama dikenal manusia, mudah didapatkan di alam dan tidak sulit penanganannya. Bacillus anthracis, penyebab penyakit anthrax adalah pilihan utama dan telah terbukti dipakai dalam kejadian di Amerika dandicoba dibuat di Rusia serta Irak. Selain itu, bakteri yang mematikan dan tercatat sebagai agen senjata biologis adalah Yersinia pestis penyebab penyakit pes, Clostridium botulinium yang racunnya menyebabkan penyakit botulism, Francisella tularensis tularaemia dan lain-lain Jawetz, 1996,Joklik 1992. Di lain pihak, karena bakteri-bakteri patogen itu sudah dikenal lama, pengobatannya sudah diketahui dengan berbagai antibiotika dan pencegahannya dapat dilakukan dengan vaksinasi. Ada yang lebih mengerikan adalah senjata biologis dengan agen yang telah direkayasa secara bioteknologi sehingga tahan antibiotika, lebih mematikan, stabil dalam penyimpanan dan sebagainya. Rekayasa genetika yang paling mudah adalah rekayasa untuk sifat resistensi terhadap antibiotika. Sifat seperti ini biasanya hanya ditimbulkan oleh kumpulan gen sederhana atau bahkan gen tunggal, sehingga mudah dipindahkan dari satu jenis bakteri ke bakteri lain. Teknologi ini juga telah menjadi standar dalam setiap eksperimen biologi molekuler. Bacillus anthracis yang dapat dimatikan dengan antibiotika jenis Penicillin dengan mudah dapat dibuat resisten dengan mentransfer gen enzim -lactamase Jawetz, 1996. Biopreparat, jaringan instalasi pembuatan senjata biologis di Rusia, dikabarkan telah merekayasa bakteri penyebab pes dengan resistensi terhadap 16 jenis antibiotika. Metode rekayasa lain yang memungkinkan adalah dengan teknologi yang disebut “evolusi yang diarahkan” directed evolution. Metode ini dikembangkan pertama kali tahun 1994 oleh Dr. Willem Stemmer peneliti di perusahaan bioteknologi, Maxygen yang berbasis di kota Redwood, California. Metoda yang berdasarkan pada pertukaran fragmen DNA secara acak, atau disebut dengan istilah DNA shuffling, ini pertama kali diterapkan pada gen tunggal yang mengkode sebuah protein. Namun kemudian dikembangkan untuk level yang lebih besar, yaitu kumpulan gen sampai genom. Stemmert telah berhasil merekayasa bakteri Escherichia coli yang memiliki resistensi terhadap antibiotika Cefotaxime, 32 ribu kali lebih tinggi. Hasil penelitian tim peneliti dari CSIRO-Australia yang dipimpin oleh Dr. Ronald J. Jackson yang dipublikasikan di Journal of Virology edisi Februari 2001, memberikan gambaran yang jelas. Tim peneliti itu melakukan rekayasa genetika terhadap virus mousepox untuk mengkontrol fertilitas tikus. Virus ini tidaklah begitu berbahaya, namun ketika keduanya disisipi gen protein interleukin-4, mousepox tersebut menjadi sangat mematikan. Padahal tujuannya hanyalah untuk meningkatkan efisiensi virus menurunkan kesuburan tikus dengan memperbanyak produksi antibodi terhadap sel telurnya sendiri. Hasil yang diluar dugaan ini menggemparkan masyarakat ilmiah karena virus mousepox merupakan kerabat dekat virus smallpox penyebab penyakit cacar. Dapat dibayangkan teknologi ini sangat mungkin diterapkan kepada virus cacar yang menduduki peringkat pertama dalam tingkat kebahayaannya sebagai senjata biologis. Jurnal Filsafat Indonesia, Vol 1 No 1 2018 ISSN E-ISSN 2620-7982, P-ISSN Jurnal Filsafat Indonesia 69 Pandangan Aksiologi Terhadap Risetdan Penggunaan Senjata Biologis Kehidupan manusia yang tidak dapat dilepaskan dari agama telah memberikan batasan tentang tata nilai dan moral yang sekaligus membatasi penggunaan ilmu dan teknologi untuk selalu taat akan nilai-nilai dan moral. Pada sebagian orang, para pengikut faham ilmu yang bebas nilai telah berjuang agar ilmu memperoleh otonomi dalam melakukan penelitian dalam rangka mempelajari alam sebagai mana adanya .Konflik antara yang menghendaki ilmu selalu mempertimbangkan nilai moral dan imu yang bebas nilai telah berkembang ratusan tahun Suriasumantri, 2010. Dalam filsafat, penerapan ilmu berupa teknologi berkaitan erat dengan aksiologi keilmuan. Aksiologi keilmuan ini diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kegunaan ilmu pengetahuan yang diperoleh Firman, 2018.. Sebagai contoh, penggunaan teknologi berupa senjata biologis telah menyebabkan kehancuran dan penderitaan umat dengan Senjata kimia, senjata biologis merupakan senjata yang menggunakan patogen sebagai alat untuk melukai, melumpuhkan dan membunuh. Patogen bisa meliputi bakteri, virus, maupun organisme penghasil penyakit. Terkadang senjata yang memiliki unsur toksin berbahaya juga disebut Senjata Biologi. Senjata jenis ini bukanlah senjata baru, karena pada masa lampau bangsa Romawi sudah memanfaatkan pedang yang dicelupkan ke pupuk dan sisa hewan yang membusuk sebelum tahun 1754 – 1760 terjadi peperangan antara bangsa Britania Utara dan bangsa Indian yang melibatkan penggunaan virus cacar. Ketika itu, Britania Utara memberikan pakaian dan selimut dari rumah sakit yang merawat penderita cacar kepada bangsa Indian untuk memusnahkan bangsa tersebut. Pada Perang Dunia I, Jerman menggunakan dua bakteri patogen, yaitu Burkholderia mallei penyebab Glanders dan Bacillus anthracis penyebab Antrax untuk menginfeksi ternak dan Kuda Tentara Sekutu. Pada tahun 1932-1935, Jepang mengembangkan program pembuatan senjata biologi di Cina yang dinamakan Unit 731. Sebanyak ilmuwan Jepang bekerja untuk melakukan penelitian terhadap berbagai agen biologi yang berpotensi sebagai senjata, misalnya kolera, pes, dan penyakit seksual yang menular. Eksperimen yang dilakukan menggunakan tahanan Cina yang mengakibatkan ± tahanan mati pada masa itu. Sejak saat itu, tidak hanya Jepang yang mengembangkan senjata biologi, namun juga diikuti oleh negara-negara lain seperi Amerika Serikat dan Uni Soviet. Penggunaan senjata biologis ini telah melampaui nilai-nilai moral dan hak asasi pengembangan ilmu pengetahuan ini telah digunakan sebagai penghancur umat manusia itu sendiri. Padahal hakikat pengembangan ilmu pengetahuan itu bertujuan untuk membantu mencapai kesejahteraan umat manusia. Penggunaan Senjata Biologis dipandang dari Segi Moral dan Kemanusiaan Segi Moral Secara tidak langsung penggunaan senjata biologis dapat merusak moral sebuah bangsa. Bagi bangsa yang terkena senjata biologis biasanya diintai oleh keterpurukan dan guncangan mental, hal ini dialami oleh penduduk yang menjadi sasaran senjata biologis. Biasanya , senjata biologis digunakan untuk penyerangan terhadap tentara musuh di medan perang ataupun faksi-faksi militer negara yang bersitegang, namun tak jarang masih ada negara yang mengarahkan senjata biologis mereka pada penduduk dari negara yang bersitegang. Dilihat dari sisi ini jelas bahwa penggunaan senjata biologis harusnya tak perlu digunakan selain dari tujuan utamanya untuk menjatuhkan biologis dapat menyebabkan keruntuhan moral bagi sasarannya,dalam penyebaran yang terus berkembang dari waktu ke waktu senjata biologis dikategorikan sebagai salah satu senjata yang sangat mematikan dan dilarang penyebarannya. Senjata biologis yang dikembangkan di Irak adalah senjata biologis yang di duga dapat menyerang korbannya langsung pada sistem syaraf yang terserang meskipun selamat kemungkinan akan mengalami cacat mental. Senjata biologis yang sedang dalam tahap pengembangan ini memperlihatkan bahwa penggunaan senjata biologis tidak tepat mengingat perkembangan zaman yang merujuk pada globalisasi, keamanan dan kerja sama antar negara dalam pencegahan terjadi kembali perang dunia. Selain itu organisasi-organisasi yang ada di dunia saat ini seperti PBB mengangggap penyebaran senjata biologis merupakan sebuah ancaman besar bagi perkembangan dan pertahanan moral sebuah bangsa, sehingga jika dilihat dari segi moral jelas penggunaan senjata biologis adalah sesuatu tindakan yang dikecam dan tidak baik . Jika penggunaannya masih terus berlanjut, hal ini menunjukkan betapa minimnya keperdulian dunia terhadap moral sebuah bangsa. Jurnal Filsafat Indonesia, Vol 1 No 1 2018 ISSN E-ISSN 2620-7982, P-ISSN Jurnal Filsafat Indonesia 70 Segi Kemanusiaan Penggunaan senjata biologis dilihat dari segi kemanusiaan merupakan sesuatu yang kurang manusiawi dan dianggap lebih menyakitkan, bila dibandingkan dengan senjata nuklir ataupun yang lainnya karena dalam penggunaannya senjata biologis tidak langsung membuat korban atau sasaranya mati, namun korban harus terlebih dulu merasakan penderitaan dari rasa sakit yang di alami efek penyebaran bakteri atau virus yang membutuhkan waktu cukup lama sampai pada tahap kematian. Namun tak semua senjata biologis yang digunakan berujung pada kematian, sebagian senjata biologis menggunakan bakteri yang tidak mematikan namun tetap berbahaya karena jika tidak ditangani dengan baik tetap saja bisa berujung pada bakteri atau virus yang digunakan cenderung bertambah dengan munculnya berbagai macam penyakit infeksi fatal baru seperti virus Ebola, Suatu jenis bakteri yaitu Bacillus anthracis, penyebab penyakit anthrax adalah pilihan utama dan telah terbukti dipakai dalam kejadian di Amerika maupun, Rusia serta Irak. Dengan perkembangan yang sulit dihentikan, melalui metode rekayasa genetika semakin banyak jenis bakteri ataupun virus yang digunakan sebagai senjata biologis yang dapat mematikan atau sulit diobati. 4. Kesimpulan Perkembangan ilmu selayaknya dapat menghasilkan teknologi yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia, mempermudah dan membantu tercapainya cita-cita umat manusia. Namun, keserakahan umat manusia telah melahirkan teknologi canggih berupa senjata biologis sebagai pemusnah masal, yang memberikan dampak negatif pada umat manusia. Teknologi canggih berupa senjata biologi telah menjadi senjata pemusnah yang dapat membunuh umat manusia dalam peperangan. Senjata biologi juga telah banyak digunakan untuk mencapai cita-cita politik segelintir orang. Sebaiknya pengembangan ilmu pengetahuan yang menghasilkan teknologi harus dilandasi nilai-nilai agama, moral dan estetika. Daftar Pustaka nn.....,2001, Bahaya Senjata Biologis, Journal of Virology, ed Februari Adib A , 2010, Filsafat Ilmu, Yogyakarta Pustaka Pelajar Firman H, 2018, Modul Perkuliahan Filsafat Sains, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia Jawetz, Melnick,Adelberg, 1996, Mikrobiologi Kedokteran, Edisi ke-20, Jakarta, EGC Joklik, Willet, Amos, 1992, Zinnser Microbiology, 20 th Edition, USA, Appleton & Lange Jalaluddin ,Abdullah Idi. 1997. Filsafat Pendidikan. Jakarta Gaya Media Pratama. Suriasumantri, Jujun S. 2010. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta PT Penebar Swadaya. Susanto, A. 2011. Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis. Jakarta PT Bumi Aksara Sanprayogi M, Chaer T, 2017 ,Aksiologi Filsafat Ilmu dalam Pengembangan keilmuan, Al Murabbi Volume 4, Nomor 1, Juli 2017 ISSN 2406-775X ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication.. . Daftar Pustaka NnDaftar Pustaka nn.....,2001, Bahaya Senjata Biologis, Journal of Virology, ed Februari Adib A, 2010, Filsafat Ilmu, Yogyakarta Pustaka PelajarModul Perkuliahan Filsafat Sains, Sekolah PascasarjanaH FirmanFirman H, 2018, Modul Perkuliahan Filsafat Sains, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan IndonesiaAksiologi Filsafat Ilmu dalam Pengembangan keilmuanM SanprayogiT ChaerSanprayogi M, Chaer T, 2017,Aksiologi Filsafat Ilmu dalam Pengembangan keilmuan, Al Murabbi Volume 4, Nomor 1, Juli 2017 ISSN 2406-775X Sistem kami menemukan 25 jawaban utk pertanyaan TTS ilmu tentang menggunakan senjata. Kami mengumpulkan soal dan jawaban dari TTS Teka Teki Silang populer yang biasa muncul di koran Kompas, Jawa Pos, koran Tempo, dll. Kami memiliki database lebih dari 122 ribu. Masukkan juga jumlah kata dan atau huruf yang sudah diketahui untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Gunakan tanda tanya ? untuk huruf yang tidak diketahui. Contoh J?W?B Dari Wiktionary bahasa Indonesia, kamus bebas Loncat ke navigasi Loncat ke pencarianbahasa Indonesia[sunting] Nomina artileri posesif ku, mu, nya; partikel kah, lah Mil senjata untuk melontarkan proyektil pa-sukan tentara yang bersenjata berat ilmu tentang mempergunakan senjata Etimologi Kata turunan Sinonim Frasa dan kata majemuk Terjemahan[?] Lihat pula Semua halaman dengan kata "artileri" Semua halaman dengan judul mengandung kata "artileri" Lema yang terhubung ke "artileri" Pranala luar Definisi KBBI daring KBBI V, SABDA KBBI III, Kamus BI, Tesaurus Tesaurus Tematis, SABDA Terjemahan Google Translate, Bing Translator Penggunaan di korpora Corpora Uni-Leipzig Penggunaan di Wikipedia dan Wikisource Wikipedia, Wikisource Ilustrasi Google Images, Bing Images Jika komentar Anda belum keluar, Anda dapat menghapus tembolok halaman pembicaraan ini. Belum ada komentar. Anda dapat menjadi yang pertama lbs Bahasa Indonesia a ° ‧ b ° ‧ c ° ‧ d ° ‧ e ° ‧ f ° ‧ g ° ‧ h ° ‧ i ° ‧ j ° ‧ k ° ‧ l ° ‧ m ° ‧ n ° ‧ o ° ‧ p ° ‧ q ° ‧ r ° ‧ s ° ‧ t ° ‧ u ° ‧ v ° ‧ w ° ‧ x ° ‧ y ° ‧ z ° Kategori Kata Kata dasar Kata berimbuhan Kata ulang Turunan kata Gabungan kata majemuk Frasa Turunan frasa Morfem Imbuhan Prakategorial Morfem terikat Morfem unik Peribahasa/idiom Kiasan/ungkapan Kependekan singkatan dan akronim Bahasa daerah Bahasa asing/serapan Kata dengan unsur serapanKelas kata Adjektiva Adverbia Artikula Interjeksi Interogativa Konjungsi Nomina Numeralia Partikel Preposisi Pronomina VerbaRagam bahasa Arkais tidak lazim / Ejaan lama Cakapan tidak baku / nonformal / variasi Klasik naskah kuno Kasar Hormat Feminin MaskulinBidang ilmu /Leksikon Administrasi dan Kepegawaian Agama Budha Agama Hindu Agama Islam Agama Katolik Agama Kristen Anatomi Antropologi Arkeologi Arsitektur Astrologi Astronomi Bakteriologi Biologi Botani Demografi Ekonomi dan Keuangan Elektronika Entomologi Farmasi Filologi Filsafat Fisika Geografi dan Geologi Grafika Hidrologi Hidrometeorologi Hukum Ilmu Komunikasi Kedirgantaraan Kedokteran dan Fisiologi Kehutanan Kemiliteran Kesenian Kimia Komputer Linguistik Manajemen Matematika Mekanika Metalurgi Meteorologi Mikologi Mineralogi Musik Olahraga Pelayaran Pendidikan Penerbangan Perdagangan idNegasiIndeks Alfabetis Frasa Frekuensi Kiasan Peribahasa Serapan Gambar 206 kata benda dasar Swadesh 207 kata dasar Kata perhentian stopwords RimaImbuhan Nomina -an ke-/ke-an/keber-an/kepeng-an/kese-an/keter-an/ketidak-an pe-/pe-an per-/per-an se-/se-an Adjektiva ter- se- ke- Verba ber-/ber-an/ber-kan me-/me-i/me-kan di-/di-i/di-kan ku-/ku-i/ku-kan kau-/kau-i/kau-kan memper-/memper-i/memper-kan diper-/diper-i/diper-kan kuper-/kuper-i/kuper-kan kauper-/kauper-i/kauper-kan -i -kan Akhiran -ku -mu -nya -kah -lah -tah Sisipan -er-, -el-, -em-, -in- KategoriBahasa Indonesia IndeksBahasa Indonesia ProyekWiki bahasa Indonesia Lampiran bahasa Indonesia Bahasa daerah sebagian atau seluruh definisi yang termuat pada halaman ini diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Penelitian ini dilakukan dengan tujuan 1 untuk mengetahui, dan menganalisis terkait dengan penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata, serta 2 untuk menganalisis dan mengkaji terkait dengan aturan hukum yang berkaitan dengan penggunaan drone sebagai sennjata, jika dikaji dari perspektif Hukum Humaniter Internasional. Dalam penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, dengan melakukan pendekatan perundang-undangan statute approach dan pendekatan kasus case approach. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan juga tersier sebagai dasar analisis. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa 1 Penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata telah menyalahi aturan dasar dari hukum humaniter internasional. Dalam penggunaannya drone sebagai senjata tidak dapat membedakan secara pasti terkait target dan sasaran antara kombatan dan non-kombatan. Selain itu dalam pelaksanaan penggunaannya drone sebagai senjata belum menerapkan prinsip-prinsip dasar dari hukum hukaniter internasional. Kemudian, 2 Penggunaan drone sebagai senjata telah dilakukan tanpa adanya suatu aturan hukum yang memadai mengenai hal ini, Pasal 36 Protokol Tambahan I Tahun 1977 hanya memuat hal yang bersifat umum mengenai perkembangan teknologi persenjataan dan metode berperang, namun tidak secara spesifik mengatur mengenai penggunaan drone. Kekosongan anturan hukum yang secara spesifik dan khusus mengatur mengenai penggunaan drone, yang berkaitan dengan penggunaannya sebagai senjata, hal ini akan membuka peluang yang sangat besar terjadinya penyalahgunaan dan pelanggaran-pelanggaran hukum humaniter internasional. Sehingga penggunaan drone sebagai senjata harus dirumuskan dalam suatu aturan hukum tertentu. Aturan yang khusus dan mengikat diperlukan guna mencegah pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam penggunaan drone sebagai senjata oleh negara, dan mencegah jatuhnya korban jiwa yang berlebihan dari pihak kombatan, maupun non-kombatan, selain itu agar pemanfaatan drone juga lebih pasti. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 1 PENGGUNAAN DRONE SEBAGAI SENJATA DALAM KONFLIK BERSENJATA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL David Greacy Geovanie1, Dewa Gede Sudika Mangku2, Ni Putu Rai Yuliartini3 Program Studi Ilmu Hukum Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, Indonesia e-mail {davidgio2404 raiyuliartini Abstrak Penelitian ini dilakukan dengan tujuan 1 untuk mengetahui, dan menganalisis terkait dengan penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata, serta 2 untuk menganalisis dan mengkaji terkait dengan aturan hukum yang berkaitan dengan penggunaan drone sebagai sennjata, jika dikaji dari perspektif Hukum Humaniter Internasional. Dalam penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, dengan melakukan pendekatan perundang-undangan statute approach dan pendekatan kasus case approach. Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder, dan juga tersier sebagai dasar analisis. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa 1 Penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata telah menyalahi aturan dasar dari hukum humaniter internasional. Dalam penggunaannya drone sebagai senjata tidak dapat membedakan secara pasti terkait target dan sasaran antara kombatan dan non-kombatan. Selain itu dalam pelaksanaan penggunaannya drone sebagai senjata belum menerapkan prinsip-prinsip dasar dari hukum hukaniter internasional. Kemudian, 2 Penggunaan drone sebagai senjata telah dilakukan tanpa adanya suatu aturan hukum yang memadai mengenai hal ini, Pasal 36 Protokol Tambahan I Tahun 1977 hanya memuat hal yang bersifat umum mengenai perkembangan teknologi persenjataan dan metode berperang, namun tidak secara spesifik mengatur mengenai penggunaan drone. Kekosongan anturan hukum yang secara spesifik dan khusus mengatur mengenai penggunaan drone, yang berkaitan dengan penggunaannya sebagai senjata, hal ini akan membuka peluang yang sangat besar terjadinya penyalahgunaan dan pelanggaran-pelanggaran hukum humaniter internasional. Sehingga penggunaan drone sebagai senjata harus dirumuskan dalam suatu aturan hukum tertentu. Aturan yang khusus dan mengikat diperlukan guna mencegah pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam penggunaan drone sebagai senjata oleh negara, dan mencegah jatuhnya korban jiwa yang berlebihan dari pihak kombatan, maupun non-kombatan, selain itu agar pemanfaatan drone juga lebih pasti. Kata kunci Penggunaan drone, senjata, hukum humaniter Abstract This research was conducted with the objectives of 1 to identify, and analyze related to the use of drones as weapons in armed conflict, and 2 to analyze and study related to the rule of law relating to the use of drones as weapons, if studied from the perspective of International Humanitarian Law. This research uses normative legal research, by taking a statutory approach and a case approach. The legal materials used are primary, secondary, and tertiary legal materials as the basis for analysis. Based on the results of the research, it shows that 1 The use of drones as a weapon in armed conflict has violated the basic rules of international e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 2 humanitarian law. In the use of drones as weapons, it is not possible to clearly distinguish between targets and targets between combatants and non-combatants. In addition, in implementing the use of drones as weapons, the basic principles of international humanitarian law have not been implemented. Then, 2 The use of drones as weapons has been carried out without an adequate legal regulation regarding this matter, Article 36 of Additional Protocol I of 1977 only contains general matters regarding the development of weapons technology and methods of warfare, but does not specifically regulate the use of drones. The absence of legal rules that specifically and specifically regulate the use of drones, which are related to their use as weapons, will open up enormous opportunities for abuse and violations of international humanitarian law. So the use of drones as weapons must be formulated in a certain legal rule. Specific and binding rules are needed to prevent violations that occur in the use of drones as weapons by the state, and prevent excessive casualties, from combatants and non-combatants, besides that the use of drones is also more certain. Keywords Use drones, weapons, humanitarian law PENDAHULUAN Sejak awal hukum humaniter internasional telah berupaya untuk membatasi penderitaan to limit the suffering yang disebabkan oleh konflik bersenjata. Untuk mencapai hal tersebut, hukum humaniter internasional membatasi perilaku kombatan serta pemilihan cara dan metode perang, termasuk senjata yang digunakan ICRC, 2009. Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena dari sudut pandang hukum humaniter, perang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari Ambarwati, 2013. Tujuan utama dari hukum humaniter internasional ialah untuk memberikan perlindungan terhadap korban konflik bersenjata dan mengatur peperangan dengan mendasarkan pada keseimbangan antara kebutuhan militer military necessity dan kemanusiaan humanity Melzer, 201616. Aturan tentang larangan dan pembatasan atas senjata-senjata tertentu dapat ditemukan dalam berbagai perjanjian serta dalam hukum kebiasaan konfliik bersenjata Henckaerts, 2005 87. Selain itu, hukum humaniter internasional juga berupaya mengatur perkembangan teknologi senjata dan akuisisi senjata baru oleh negara-negara. Pasal 36 Protokol Tambahan I, misalnya mengharuskan setiap negara pihak untuk memastikan bahwa penggunaan senjata, cara atau metode perang baru apa pun yang dipelajari, dikembangin, diperoleh atau diadopsi akan mematuhi aturan hukum humaniter internasional yang mmengikat negara-negara tersebut. Seperti diketahui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat dapat memicu perkembangan teknologi persenjataan. Pasal 36 Protokol Tambahan I adalah untuk mengantisipasi munculnya senjata-senjata jenis baru yang secara spesifik belum diatur oleh hukum humaniter internasional. Secara umum, senjata yang dilarang penggunaannya oleh hukum humaniter internasional adalah senjata-senjata yang sifatnya indiscriminate tidak pandang bulu atau membabi buta. Sedikitnya ada tiga kriteria indiscriminate weapons, yakni; 1 senjata-senjata yang tidak dapat diarahkan pada suatu sasaran militer tertentu specific military objectives, 2 tidak dapat membedakan antara sasaran militer dan warga sipil, 3 senjata-senjata yang dampaknya tidak dapat dibatasi sebagaimana diharuskan oleh hukum humaniter internasional Protokol Tambahan I ICRC, 2019. Persenjataan lainnya yang secara umum juga dilarang penggunaannya oleh hukum humaniter internasional adalah senjata-senjata yang dapat menyebabkan cedera berlebihan dan penderitaan yang tidak perlu superfluous injury and unnecessary suffering. Gagasan bahwa hukum harus berupaya mengendalikan alat-alat perang yang membunuh, melukai, dan menghancurkan, sekilas tampaknya tidak e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 3 mungkin. Padahal jika dilihat dari realisme praktis dari hukum internasional bahwa secara fakta perang dapat diterima dan fokus pragmatis dari hukum diarahkan pada upaya untuk meringankan konsekuensi terburuknya Bakry, 201984. Secara tradisional, yang dimaksud dengan senjata, berarti meliputi persenjataan, sistem persenjataan atau platform yang digunakan untuk tujuan serangan. Dalam perkembangannya peralatan bersenjata yang dipakai saat ini telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Peralatan bersenjata merupakan salah satu sarana penunjang dalam konflik bersenjata untuk mendapat sasaran yang ingin dicapai. Saat ini orang tidak perlu lagi berada dalam arena konflik bersenjata untuk bertempur, karena saat ini pertempuran dapat dilakukan dengan menggunakan remote-controlled weapon systems dan robotic weapon systems. Salah satu senjata yang termasuk dalam remote-controlled weapon systems adalah drone atau yang juga dikenal dengan unmanned aerial vehicles Kellenberger, 2014. Istilah pesawat tanpa awak unmanned aircraft vehicles atau yang lebih populer dikenal dengan istilah drone, secara ringkas dapat didefinisikan sebagai pesawat udara yang dapat beroperasi tanpa dikemudikan oleh seorang pilot di dalamnya juga dikenal sebagai pesawat udara dikendalikan dari jarak jauh atau RPV/remotely pilotd vehicle. Tujuan digunakannya drone dapat ditujukan untuk kegiatan yang tidak ditujukan untuk digunakan sebagai senjata non-elthal purpose dan digunakan sebagai senjata lethal purpose. Contoh penggunaan drone dalam lingkup non-lethal purpose adalah pengawasan, pengumpulan informasi, pengangkut bantuan kemanusiaan. Dan ketika dilengkapi dengan roket atau misil maka drone tersebut difungsikan sebagai senjata. Penggunaan drone pertama kali digunakan oleh pihak militer pada era perang dunia pertama sebagai sarana untuk latihan yang mana pada waktu itu digunakan dalam latihan anti-pesawat terbang. Kemudian dalam perkembangannya drone digunkan dalam perang dunia kedua sebagai peluru kendali. Pada tahun 1999 dalam konflik di Kosovo muncul ide untuk mempersenjatai drone dengan senjata dan mengubah fungsinya yang pada waktu itu hanya digunakan sebagian besar untuk pengumpulan informasi Medea, 2012; 13. Pada tahun 2004 drone hanya dimiliki oleh 46 negara tapi pada tahun 2012 jumlah negara yang sudah memiliki teknologi drone berjumlah 76 negara US Government Accountability Office, 2012101. Sebagian besar negara ini menggunakan drone untuk pengawasan, kegiatan intelejen, dan dalam operasi kemanusiaan. Negara yang menggunakan drone sebagai senjata diperlengkapi dengan senjata hanya 5 negara saja yakni Israel, Inggris, Amerika Serikat, Cina dan Iran Franke, 2014121. Akan tetapi dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat saat ini, terbuka kemungkinan yang sangat besar bagi negara-negara lain untuk menggunakan drone sebagai senjata, terutama di dalam konflik bersenjata. Drone sebagai senjata banyak dilakukan oleh Amerika di beberapa negara seperti Yaman, Pakistan dan Somalia. Council on Foreign Relation CFR menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 2012 telah terjadi 411 serangan drone di Yaman, Pakistan, dan Somalia. The New America Foundation menyebutkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2007 hingga tahun 2010 terjadi peningkatan penggunaan drone. Pada tahun 2007 terjadi 4 serangan, tahun 2008 terjadi 36 serangan, tahun 2009 terjadi 54 serangan, dan tahun 2010 terjadi 122 serangan Hurlburt, 201462. Hal ini menunjukan bahwa dalam konflik bersenjata saat ini drone menjadi salah satu pilihan senjata yang dianggap dapat membawa hasil yang signifikan, dan sangat efektif dalam mengenai sasaran atau target yang diinginkan. Namun dalam penggunaan drone sebagai senjata tidak didasari pada suatu aturan khusus yang mengatur mengenai penggunaan drone sebagai senjata. e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 4 Penggunaan teknologi drone sebagai senjata tempur menimbulkan beberapa masalah, baik dari sisi perbuatan maupun akibatnya. Dari sisi perbuatan, ketika drone dimanfaatkan sebagai senjata maka peserta dalam konflik bersenjata tidak lagi hanya melibatkan antar-manusia yang saling bertikai tetapi antara robot yang tidak bernyawa melawan pihak yang bernyawa manusia. Di samping itu juga, berkaitan dengan legalitas perang ius ad bellum, ius in bello Mangku, 2018 dan penggunaan drone sebagai alat tempur, maka serangan drone bisa saja dilakukan secara diam-diam, kapan saja, dan tanpa diketahui pihak lawan. Maka ketika ditinjau dari sisi akibat, tidak mengherankan jika saat ini banyak korban sipil akibat serangan drone Hutapea, 2013. Perumusan aturan hukum mengenai penggunaan drone khususnya yang berkaitan dengan penggunaannya sebagai senjata menjadi sangat penting saat ini, karena perkembangan teknologi saat ini mengarah kepada drone yang bersifat otonom. Artinya tidak diperlukan seseorang untuk mengontrol drone tersebut, namun drone akan beroperasi sendiri secara komputerisasi sesuai dengan misi yang telah diprogramkan sebelumnya Medea, 201240-41. Berdasarkan hal tersebut, untuk mengkaji lebih dalam mengenai pengaturan terhadap penggunaan pesawat tanpa awak atau drone di dalam konflik bersenjata internasional, maka dalam penelitian ini mengangkat judul “Penggunaan Drone Sebagai Senjata Dalam Konflik Bersenjata Ditinjau Dari Perspektif Hukum Humaniter Internasional”. METODE Proses penelitian hukum memerlukan metode penelitian yang akan menunjang hasil dari penelitian tersebut. Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian, dengan jenis penelitian yakni penelitian hukum normatif, yang dilakukan dengan cara mengkaji suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku atau yang digunakan dalam suatu permasalahan hukum tertentu. Tidak hanya peraturan perundangang-undangan, tapi juga pengumpulan data dengan jenis penelitian normatif ini dapat menggunakan bahan pustaka lainnya Ishaq, 2017 20. Dalam penelitian ini akan dikaji lebih dalam mengenai penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata ditinjau dari Konvensi Den Haag 1907 dan Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977. Terdapat dua jenis Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu Pendekatan peraturan perundang-undangan statute approach, yang dimana dilakukan dengan cara menelaah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan atau isu hukum yang sedang dihadapi. Dalam penelitian ini akan ditelaah aturan yang berkaitan dengan penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata ditinjau dari Konvensi Den Haag 1907 dan Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977. Kemudian pendekatan kasus case approach, dimana dalam penelitian ini akan dianalisis kasus terhadap penyalahgunaan drone sebagai senajata dalam konflik bersenjata. Adapun sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu terdiri dari bahan hukum primer didapat dari Konvensi Den Haag 1907 tentang alat dan cara berperang, dan Konvensi Jenewa IV tentang perlindungan terhadap warga sipil sebagai korban dari konflik bersenjata. Kemudian bahan hukum sekunder yang didapat dari buku-buku, hasil penelitian sebelumnya, dan pendapat para ahli yang menjelaskan tentang alat, dan cara berperang. Serta bahan hukum tersier, yang merupakan bahan penunjang dan pendukung, yang berupa data-data yang disortir secara akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi kepustakaan. Dilakukan dengan cara membaca, menelaah, mencatat, dan membuat usulan bahan pustaka yang ada kaitannya dengan penggunaan drone sebagai senjata yang ditinjau dari Konvensi Den Haag 1907. Selanjutnya Teknik analisis e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 5 bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengertian dan Sejarah Penggunaan Pesawat Tanpa Awak unmanned aircraft vehicles / drone Pesawat tanpa awak unmanned aircraft vehicles atau yang lebih dikenal dengan istilah drone secara global masih belum memiliki definisi yang pasti dikarenakan dalam menentukan definisi pesawat tanpa awak yang tepat masih bergantung pada penggunaannya yang berbeda-beda. Drone merupakan salah satu pengembangan teknologi perang modern. Saat ini saja, telah terdapat lebih dari model pesawat tanpa awak baik yang telah dipasarkan maupun yang sedang dikembangkan di lebih dari 50 negara Marshall, 2009 694. Penggunaan pesawat tanpa awak bukanlah sebuah konsep yang baru, terutama bagi angkatan militer Amerika. Saat Perang Dunia I dan II, angkatan militer Amerika mencoba mengembangkan program pesawat tanpa awak. Namun program ini tidak berhasil dikembangkan, dikarenakan masih sangat terbatasnya teknologi yang ada saat itu. Akan tetapi dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat saat ini, terbuka kemungkinan yang sangat besar bagi negara-negara lain untuk menggunakan drone sebagai senjata, terutama di dalam konflik bersenjata. Teknologi yang berkembang saat ini, secara khusus pada persenjataan, diakui telah memberikan banyak pengaruh yang pesat terhadap perkembangan hukum internasional, tidak terkecuali hukum humaniter internasional. Meskipun di dalam perjalanan dan perkembangannya hukum humaniter internasional selalu berada beberapa langkah di belakang perkembangan teknologi tersebut, seperti halnya terkait dengan pengaturan tentang teknologi penggunaan senjata untuk berperang ada setelah teknologi tersebut ditemukan dan digunakan. Perkembangan teknologi perang selalu mengalami perubahan dari masa ke masa, teknologi drone merupakan salah satu contohnya, dan hal ini memiliki potensi yang besar di masa depan sebagai salah satu senjata utama yang akan digunakan dan dikembangkan oleh banyak negara-negara khususnya negara yang memiliki sumber daya teknologi yang lebih maju, ketika terlibat dalam konflik bersenjata. Namun sampai saat ini belum adanya ketentuan hukum yang secara khusus dan spesifik mengatur tentang penggunaan pesawat tanpa awak sebagai senjata tempur dalam suatu konflik bersenjata, sehingga kondisi ini menyebabkan kerancuan penggunaan pesawat tanpa awak sebagai senjata tempur dalam konflik bersenjata. Penggunaan Pesawat Tanpa Awak dengan Menerapkan Prinsip Proporsionalitas Penggunaan pesawat tanpa awak, dilihat dari beberapa kasus dan fakta yang terjadi sering kali menyebabkan korban sipil berjatuhan. Hal ini dikarenakan nihilnya aturan secara spesifikasi terkait dengan pembuatan dan prosedur penggunaan pesawat tanpa awak tersebut Nurbani, 2017. Prinsip proporsionalitas secara umum sudah diterima sebagai salah satu bagian dalam hukum kebiasaan internasional customary international law. Sehingga setiap negara terikat harus patuh secara penuh terhadap penerapan prinsip proporsionalitas dalam konflik bersenjata. Pesawat tanpa awak harus digunakan secara proporsional dalam konflik bersenjata. Prinsip proporsionalitas wajib diterapkan dalam penggunaan pesawat tanpa awak untuk menghindari korban dari pihak sipil berjatuhan. Pada dasarnya prinsip proporsionalitas mempunyai makna dan arti yang sama dengan keseimbangan, dengan kata lain prinsip ini, harus terjadi keseimbangan antara prinsip kepentingan militer, prinsip kemanusiaan, dan prinsip kesatriaan Haryomataram, 1954 11. Dalam prinsip ini dijelaskan juga bahwa dalam rangka mencapai keberhasilan perang, negara tidak diperkenankan menjadikan e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 6 penduduk sipil sebagai target atau tameng dalam permusuhan. Prinsip proporsionalitas ini sudah dikodifikasikan dalam Pasal 51 paragraf 5 huruf b Protokol Tambahan I Tahun 1977 Konvensi Jenewa yang dimana diatur bahwa “Setiap negara dilarang untuk melakukan serangan yang dapat diduga akan menimbulkan kerugian yang tidak perlu berupa jiwa orang-orang sipil, luka-luka di kalangan orang sipil, kerusakan objek-objek sipil, atau gabungan dari semuanya itu yang merupakan hal yang melampaui batas dibandingkan dengan keuntungan militer yang kongkret dan langsung yang diharapkan sebelumnya”. Selain itu prinsip proporsionalitas juga telah diakomodir dalam Pasal 35 ayat 2, Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa 1977, yang menyebutkan bahwa “Dilarang menggunakan senjata, proyektil, material dan metode berperang yang menimbulkan luka-luka yang berlebihan dan penderitaan yang tidak perlu. Serta selanjutnya disebutkan pula bahwa dilarang menggunakan alat atau cara berperang yang mengakibatkan atau dapat diperkirakan akan menyebabkan kerusakan yang luas, dan berjangka Panjang terhadap lingkungan hidup”. Prinsip selanjutnya, yang juga merupakan prinsip penting dalam hukum Den Haag dan dianggap dapat memberikan perlindungan hukum terhadap negara yang menderita kerugian dalam peperangan serta dapat melindungi penduduk sipil secara efektif, khususnya terhadap perkembangan teknologi senjata, adalah Prinsip Martens Clause, yang menyebutkan bahwa “Apabila hukum humaniter belum mengatur suatu ketentuan hukum mengenai masalah-masalah tertentu, maka ketentuan yang dipergunakan harus mengacu kepada prinsip-prinsip hukum internasional yang terjadi dari kebiasaan yang terbentuk dari bangsa-bangsa yang beradab dari hukum kemanusiaan serta dari hati nurani masyarakat”. Martens Clause merupakan klausula yang sangat penting, karena dengan mengacu kepada prinsip-prinsip hukum dan kebiasaan internasional yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab, maka didalam pengaturan sengketa bersenjata tidak hanya mendasar pada hukum humaniter tertulis dalam bentuk perjanjian internasional. Ketentuan dalam Statuta Roma 1998 tersebut juga memberikan persyaratan dapat diterapkannya prinsip proporsionalitas, diantaranya harus terdapat upaya antisipasi untuk mencegah timbulnya korban dari penduduk sipil, dan harus terdapat upaya antisipasi untuk mencapai kepentingan militer. Dalam menggunakan pesawat tanpa awak yang dipersenjatai, sudah menjadi suatu kewajiban bahwa penggunanya harus sejalan dengan prinsip ini, mengingat prinsip ini telah menjadi kebiasaan internasional. Setidaknya terdapat beberapa syarat dalam prinsip proporsional yang harus dipenuhi dalam menggunakan pesawat tanpa awak secara proporsionalitas, antara lain 1. Penduduk sipil harus mendapatkan prioritas utama dalam perlindungan. Pesawat tanpa awak tidak boleh ditujukan langsung dengan sengaja untuk mengarah dan menyerang penduduk sipil maupun orang-orang yang dilindungi menurut hukum humaniter. 2. Penggunaannya harus dilakukan dengan kendali langsung manusia. Meskipun sistem kontrol pesawat tanpa awak dilakukan secara autopilot, pesawat tanpa awak harus dapat secara langsung dikendalikan oleh manusia. Sehingga pesawat tanpa awak harus berada di bawah kendali manusia. 3. Penggunaannya tidak boleh bertentangan dengan aturan dasar hukum humaniter internasional. 4. Penggunaan pesawat tanpa awak dalam pertikaian bersenjata perlu memperhatikan jus add bellum dan jus in bello. Dengan demikian, meskipun perkembangan teknologi militer/senjata belum diatur secara detail dan seluruhnya dalam suatu kodifikasi perjanjian internasional di dalam hukum perang, negara dan masyarakat e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 7 internasional memiliki kewajiban untuk mematuhi prinsip-prinsip fundamental dalam hukum humaniter internasional, khususnya prinsip proporsionalitas. Prinsip proporsionalitas dapat dijadikan sebagai sandaran bagi para pihak dalam konflik bersenjata. Selain prinsip proporsionalitas yang harus diterapkan dalam penggunaan drone sebagai senjata, terdapat pula prinsip pembatas yang tercantum dalam ketentuan Pasal 22 Konvensi Den Haag tahun 1907 tentang hukum dan kebiasaan perang di darat yang menyatakan bahwa Dalam setiap konflik bersenjata, hak para pihak dalam konflik untuk memilih metode atau alat perang adalah tidak tak terbatas. Hal ini dilarang untuk mempergunakan senjata, material dan metode perang malam yang menyebabkan luka berlebihan. Jadi menurut prinsip tersebut para pihak yang berkonflik atau berperang mempunyai keterbatasan dalam memilih persenjataan dan metode perang dalam berkonflik. Sedangkan dalam penggunaan pesawat tanpa awak atau drone tersebut bertentangan dengan Pasal 22 Hague Regulation 1907, karena dapat menyebabkan kerusakan yang berlebihan terhadap objek yang menjadi target atau sasaran, sehingga yang menjadi korban bukan hanya dari pihak kombatan saja, namun juga dari pihak warga sipil atau penduduk sekitar sasaran dari serangan tersebut. Penggunaan Drone dalam Konflik Bersenjata Teknologi pesawat tanpa awak ini, memiliki banyak manfaat dan fungsinya, baik itu yang berkaitan dengan militer maupun non-militer. Meskipun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa melihat berbagai keunggulan yang dimiliki teknologi tersebut, eksploitasi penggunaannya lebih banyak dilakukan untuk kepentingan militer, khususnya dalam hal persenjataan. Fenomena munculnya teknologi pesawat tanpa awak sebagai senjata tempur dalam konflik bersenjata, merupakan paradigma baru dalam perang. Untuk itulah, pemerintah Amerika Serikat menggunakan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata, untuk mengurangi resiko kematian prajurit mereka dengan dalih bahwa negara Amerika Serikat mempunyai tanggung jawab untuk melindungi seluruh warga negaranya, tanpa terkecuali prajurit yang dikirim ke area konflik bersenjata di dalam maupun di luar negeri. Kondisi ini disatu sisi memang terbukti menguntungkan, karena resiko kematian prajurit dapat diminimalisir, namun di sisi lain efek negatif yang ditimbulkan juga tidak kalah besar. Dalam beberapa laporan yang ditulis oleh beberapa media, menyebutkan bahwa sejak serangan yang diluncurkan pada tahun 2009 samapai pada januari 2013, drone telah membunuh militant sebanyak hingga jiwa. Jumlah serangan melonjak drastis pada tahun 2008 dan terus naik pada tahun 2009. Serangan ini juga merupakan bagian dari kampanye War On Terror. Pada tahun 2009, Philip Alston yang merupakan salah satu agen spesial dari PBB, juga mengatakan bahwa penggunaan drone sebagai senjata oleh Amerika Serikat di Pakistan dalam operasi targeted killing dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional Alston, 2017 205. Tidak hanya itu, di dalam laporannya Philipp Alston juga menyebutkan mengenai kontroversi dari penggunaan pesawat tanpa awak, hal ini dikarenakan penggunaan pesawat tanpa awak atau drone, yang tidak sesuai dan bertentangan dengan hukum humaniter internasional, yang dimana menyebabkan kematian yang tidak seharusnya, dalam hal ini termasuk kematian dari warga sipil dan juga menyebabkan kerusakan yang berlebihan atau Collateral damage. Berdasarkan data yang didapatkan dari The Bureau of Investigative Journalism TBIJ, melaporkan bahwa sejak Juni 2004 hingga pertengahan September 2012, data yang tersedia mengindikasikan bahwa serangan drone telah membunuh sampai orang di Pakistan, e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 8 dimana 474 sampai 881 adalah penduduk sipil, termasuk 176 anak-anak. Dan telah melukai sebanyak orang Bachmann, 2013. Dapat dilihat bahwa serangan yang dilakukan oleh Amerika Serikat di Pakistan sampai dengan Januari 2013 sebanyak 350 serangan, dengan perkiraan korban jiwa mencapai orang. Data tersebut, menunjukkan bahwa akibat dari penggunaan drone sebagai senjata yang tidak dapat membedakan target dan sasaran yang ingin dicapai, baik itu kombatan maupun non-kombatan. Dan juga akibat yang ditimbulkan sangat tidak sebanding dengan tujuan utamanya, yaitu membunuh satu orang akan tetapi yang terbunuh dan yang menerima dampaknya bisa beberapa orang. Hal itu tentu saja sangat tidak sesuai dengan prinsip yang ada dalam hukum humaniter internasional, bahkan dapat juga dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional. Penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata dilakukan melalui tiga cara yakni sebagai bantuan udara bagi pasukan di darat, melakukan patrol di udara untuk mencari aktivitas dan kegiatan yang mencurigakan, dan melakukan targeted killing terhadap militant yang dicurigai suspected militants. Selain itu terdapat hal yang patut menjadi perhatian tentang penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata, yaitu tentang tanggung jawab bagi setiap penggunaan serta penyalahgunaannya. Dalam hal ini tentu tanggung jawab pihak sangat diperlukan, terutama tanggung jawab bagi pemberi komando, karena drone tidak bisa diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya drone hanya alat yang digunakan dalam perang. Komandan secara komprehensif bertanggungjawab atas segala sesuatu yang terjadi dibawah kesatuannya Anshari, 2005 45. Dalam beberapa aspek drone memang sangat lebih baik dari manusia, seperti dilihat dari segi kuantitas pasukan yang setara dengan drone, kemudian dari segi efektifitas target penyerangan dan daya jelajah yang luas. Akan tetapi juga penggunaan drone sebagai senjata masih lebih berbahaya dari senjata lainnya, hal ini disebabkan karena drone tidak dapat dan tidak mampu membedakan secara pasti mana pihak kombatan dan mana non-kombatan atau warga sipil. Namun pada kenyataannya, drone telah mengakibatkan banyaknya kerugian dan telah menewaskan ratusan orang sipil, sehingga hal ini memicu legalitas penggunaan drone sebagai sebuah terobosan alat tempur saat ini. Belum adanya sebuah protokol maupun konvensi internasional yang secara khusus dan terperinci membahas terkait legalitas daripada penggunaan drone, namum kajian dari akibat yang ditimbulkan menjadi indikasi bahwa dunia internasional membutuhkan sebuah peraturan yang khusus, demi menjaga, mengantisipasi kemungkinan dan memelihara situasi tatanan global yang kondusif dan damai. Pembatasan Penggunaan Senjata Perang dalam Hukum Humaniter Internasional Pada dasarnya hukum humaniter hadir untuk berusaha melindungi orang atau pihak yang tidak terlibat maupun yang terlibat dalam konflik bersenjata dan juga memberikan perlindungan terhadap orang yang terkena dampak dari konflik tersebut. Senjata di dalam peperangan pada dasarnya juga dirancang untuk membunuh atau setidaknya melumpuhkan kekuatan potensial musuh. Kemampuan yang harus dimiliki tentunya memiliki kapabilitas melemahkan atau menghancurkan target serangan secara tepat dan efisien Effendi, 2010 3. Secara umum, senjata yang dilarang penggunaannya oleh hukum humaniter internasional adalah senjata-senjata yang sifatnya indiscriminate tidak pandang bulu atau membabi buta. Sedikitnya ada tiga kriteria indiscriminate weapons, yakni; 1 senjata-senjata yang tidak dapat diarahkan pada suatu sasaran militer tertentu specific military objectives, 2 tidak dapat membedakan antara sasaran e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 9 militer dan warga sipil, 3 senjata-senjata yang dampaknya tidak dapat dibatasi sebagaimana diharuskan oleh hukum humaniter internasional Protokol Tambahan I ICRC, 2019. Hukum perang tidak banyak mengatur mengenai alat untuk berperang secara khusus dan spesifik. Secara luas dalam Pasal 22 Hague Regulations dicantumkan prisnsip dari pemakaian senjata. Pasal tersebut menyatakan bahwa hak belligerent untuk memilih alat untuk melukai lawan adalah terbatas. Kemudian dalam Pasal 23 huruf e Hague Regulation Tahun 1907 menyatakan bahwa dilarang untuk menggunakan senjata, peluru, atau alat-alat yang diperkirakan dapat menyebabkan penderitaan yang berlebihan, yang dialami oleh pihak kombatan, maupun pihak non-kombatan. Penjelasan Pasal tersebut mengandung arti bahwa para pihak dalam berperang tidak hanya memperhatikan terkait penggunaan senjata saja, namun juga harus memperhatikan prinsip proporsionalitas yang terdapat dalam hukum humaniter internasional. Dalam hukum humaniter internasional telah merangkum beberapa perjanjian-perjanjian mengenai pembatasan serta larangan menggunakan senjata tertentu dalam konflik bersenjata internasional, baik itu senjata konvensional maupun senjata yang non-konvensional. Namun penjanjian tersebut hanya melarang senjata-senjata secara umum saja. Legalitas Pengembangan Pesawat Tanpa Awak / Drone Sebagai Senjata dalam Hukum Humaniter Internasional Penggunaan pesawat tanpa awak sebagai senjata, memang tidak secara spesifik dijelaskan dalam perjanjian-perjanjian internasional atau aturan hukum lainnya dari hukum humaniter internasional. Akan tetapi penggunaan segala jenis persenjataan harus tunduk pada aturan hukum dalam hukum humaniter internasional. Hal ini menujukan, bahwa ketika menggunakan pesawat tanpa awak sebagai senjata, pihak pengguna dalam hal ini pihak militer harus selalu dapat membedakan antara kombatan dan penduduk sipil, dan antara mana objek militer dan mana objek sipil. Legalitas pengembangan dan penggunaan pesawat tanpa awak sebagai senjata dalam kondisi konflik bersenjata dapat dikaji berdasarkan Pasal 36 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa tahun 1977 yang menyatakan bahwa “Didalam penyelidikan, pengembangan menghasilkan atau mendapatkan suatu senjata baru, alat-alat atau cara peperangan, suatu pihak peserta agung berkewajiban menetapkan apakah di dalam keadaan tertentu atau segala keadaan penggunaannya tidak akan dilarang oleh Protokol ini atau oleh sesuatu peraturan lain dari hukum internasional yang berlaku terhadap Pihak Peserta Agung tersebut”. Pasal 36 tersebut bermaksud untuk menjaga perkembangan dari persenjataan yang digunakan baik oleh negara dan organisasi-organisasi internasional agar tetap menghormati, menjaga, dan tidak melawan batas-batas dari prinsip-prinsip hukum humaniter internasional. Keberadaan pesawat tanpa awak dalam mendukung keberhasilan pertempuran perlu dikaji kedudukannya apakah telah sesuai dengan hukum internasional atau justru melanggarnya. Setiap negara yang mengembangkan teknologi tersebut tentunya memiliki kewajiban untuk mencermati apakah setiap detail penggunaannya telah sesuai dengan hukum humaniter internasional. Meskipun pesawat tanpa awak diciptakan demi kepentingan militer dan untuk memperkuat armada serta alutsista pertahanan suatu negara, namun penggunaannya harus sejalan dengan hukum humaniter. Dalam buku hukum humaniter internasional, Masyhur Effendi menegaskan pentingnya hukum humaniter internasional dalam mengimbangi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dijelaskan bahwa hukum humaniter internasional akan semakin penting di masa-masa mendatang, terutama untuk e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 10 mengimbangi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk persenjataan modern yang sering digelar dan mengabaikan segi-segi kemanusiaan Effendi, 1994 65. Pengaturan Terkait dan Perlunya Aturan Khusus Penggunaan Drone Sebagai Senjata dalam Konflik Bersenjata Penggunaan pesawat tanpa awak atau drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata merupakan akibat dan konsekuensi dari berkembangnya teknologi yang begitu pesat saat ini. Namun sampai saat ini tidak ada satu aturan internasional yang secara khusus mengatur mengenai penggunaan pesawat tanpa awak sebagai senjata militer maupun tidak. Secara fleksibel hukum humaniter internasional bisa diterapkan pada perkembangan teknologi senjata yang sangat maju sekalipun, walaupun hal ini harus tetap didasarkan paada pengaturan dalam Pasal 36 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa tahun 1977 ICRC, 2006. Aturan dalam Pasal 36 ini hanya mengatur mengenai ketentuan secara umum saja, dan tidak secara spesifik mengatur mengenai teknologi atau metode berperang tertentu. Aturan yang telah ada sebelumnya, harus diakui bahwa mungkin saja tidak cukup untuk mengikuti perkembangan teknologi secara spesifik dan juga dampak serta akibat yang ditimbulakn oleh perkembangan teknologi tersebut. Meskipun drone dianggap sebagai senjata yang illegal menurut beberapa pendapat, namun apapun itu penggunaan dan pemanfaatannya harus sesuai dan tunduk pada hukum humaniter internasional. Selain itu hal yang sangat penting dan wajib dilakukan adalah penggunaan drone dalam kekuatan atau konflik bersenjata haruslah memperhitungkan apakah penggunaannya akan mengakibatkan kerugian terhadap warga sipil atau tidak Tanod, 2013 193 Dalam penerapannya aturan khusus mengenai drone memang sangat dipertanyakan keberadaannya, hal ini disebabkan selain dari belum adanya aturan baku yang khusus serta nyata, yang mengatur tentang penggunaan drone sebagai senjata. Hal lain juga dikarenakan saat ini drone memiliki banyak tipe daan spesifik. Menghadapi ketiadaan aturan mengenai penggunaan drone sebagai senjata, dalam skala lokal maupun nasional, maka tidak menutup kemungkinan kedepan penggunaannya tanpa diserta aturan mengenai drone sama sekali. Kekhawatiran ini berdasar karena sejalan dengan amanat dalam Pasal 36 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa tahun 1977, dimana negara diwajibkan untuk mengatur perkembangan teknologi persenjataan dan metode perang terbaru yang dikembangkannya, dalam hal ini negara-negara yang saat ini menggunakan teknologi drone, terutama negara yang menggunakannya sebagai senjata harus merumuskan suatu aturan khusus mengenai penggunaan drone, baik sebagai senjata lethal purpose, maupun yang digunakan untuk kpentingan lainnya non-lethal purpose. Kekosongan aturan hukum yang secara spesifik dan khusus mengatur mengenai penggunaan drone, yang berkaitan dengan penggunaannya sebagai senjata, membuka peluang yang sangat besar terjadinya penyalahgunaan dan pelanggaran-pelanggaran hukum humaniter internasional, ketika drone yang telah dipersenjatai digunakan dalam suatu konflik bersenjata. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan, dapat diformulasikan simpulan sebagai berikut. 1. Penggunaan drone sebagai senjata dalam konflik bersenjata telah menyalahi aturan dasar dari hukum humaniter internasional. Dalam penggunaannya, drone sebagai senjata tidak dapat membedakan secara pasti terkait e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 11 target dan sasaran antara kombatan dan non-kombatan, sehingga menimbulkan banyaknya korban sipil yang berjatuhan. Selain itu dalam pelaksanaan penggunaannya drone sebagai senjata belum menerapkan prinsip-prinsip dasar dari hukum hukaniter internasional. 2. Pengaturan yang ada saat ini sudah terlalu tua dan tidak dapat mengikat secara pasti. Penggunaan drone sebagai senjata telah dilakukan tanpa adanya suatu aturan hukum yang memadai mengenai hal ini, Pasal 36 Protokol Tambahan I Tahun 1977 hanya memuat hal yang bersifat umum mengenai perkembangan teknologi persenjataan dan metode berperang, namun tidak secara spesifik mengatur mengenai penggunaan drone. Kekosongan anturan hukum yang secara spesifik dan khusus mengatur mengenai penggunaan drone, yang berkaitan dengan penggunaannya sebagai senjata, hal ini akan membuka peluang yang sangat besar terjadinya penyalahgunaan dan pelanggaran-pelanggaran hukum humaniter internasional. Perkembanga teknologi secara khusus dalam hal persenjataan tidak diikuti dengan perkembangan dari peraturan yang ada. Adapun saran yang dapat diberikan yakni sebagai berikut. 1. Penggunaan pesawat tanpa awak merupakan akibat dari perkembangan teknologi persenjataan. Banyaknya korban yang berjatuhan serta kerusakan yang terjadi akibat pesawat tanpa awak tersebut. Dan hal ini diperparah dengan belum adanya aturan yang pasti dan mengikat mengenai penggunaan drone sebagai senjata. ICRC sebagai organisasi internasional yang memantau perkembangan dalam hukum humaniter internasional, juga belum memiliki pedoman ataupun peraturan terhadap penggunaan drone sebagai senjata, dan hanya memasukkannya kedalam kategori sebagai senjata baru. Maka dari itu, diharapkan PBB sebagai induk dari berbagai organisasi internasional yang tertinggi dapat segera membuat suatu peraturan khusus yang dapat menjamin perlindungan serta dapat memberikan batasan-batasan yang dipadang pantas dalam penggunaan pesawat tanpa awak atau drone sebagai senjata. 2. Penggunaan pesawat tanpa awak sebagai senjata, dalam konflik bersenjata, secara khusus bagi negara-negara yang menggunakan pesawat tanpa awak tersebut sebagai senjata, hendaknya wajib dan tunduk terhadap aturan-aturan dasar dari hukum humaniter internasional yang mengatur tentang penggunaan alat dan metode perang. Penggunaan pesawat tanpa awak dalam perang haruslah juga memperhatikan serta memenuhi prinsip-prinsip dasar dari hukum humaniter internasional. DAFTAR PUSTAKA Alston, Philip. “Report of the Special Repporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions Study on Tergeted Challenges in International Human Rights Law 3, no. May 2017 205-234. Ambarwati, dkk. 2013, Hukum Humaniter Internasional Dalam Studi Hubungan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Anggreni, I. A. K. Mangku, D. G. S., & Yuliartini, N. P. R. 2020. Analisis Yuridis e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 12 Pertanggungjawaban Pemimpin Negara Terkait Dengan Kejahatan Perang Dan Upaya Mengadili Oleh Mahkamah Pidana Internasional Studi Kasus Omar Al-Bashir Presiden Sudan. Jurnal Komunitas Yustisia, 23, 81-90. Bakry, Umar S. 2019. Hukum Humaniter Internasional Sebuah Pengantar. Jakarta Prenadamedia Group. Benjamin Medea, 2012, Drone Warefare, Killing By Remote Control, Or Books, New York Daniati, N. P. E., Mangku, D. G. S., & Yuliartini, N. P. R. 2021. Status Hukum Tentara Bayaran Dalam Sengketa Bersenjata Ditinjau Dari Hukum Humaniter Internasional. Jurnal Komunitas Yustisia, 33, 283-294. Douglas Marshall, 2009, “Unmanned Aerial Systems and International Civil Aviation Organization Regulations”, 85 Nort Dakota Law Review 693. Erlies Septiana Nurbani, Perkembangan Teknologi Senjata dan Prinsip Proporsionalitas. Jurnal IUS. Vol. V. No. 1 April 2017. GW, R. C., Mangku, D. G. S., & Yuliartini, N. P. R. 2021. Pertanggungjawaban Negara Peluncur Atas Kerugian Benda Antariksa Berdasarkan Liability Convention 1972 Studi Kasus Jatuhnya Pecahan Roket Falcon 9 Di Sumenep. Jurnal Komunitas Yustisia, 41, 96-106. Haryomataram, 1954, Hukum Humaniter, Jakarta CV Rajawali. Heather Hurlburt, “Battlefield Earth”, Democracy, No. 31, Winter 2014 Henckaerts, Jean Marie. “Studi kajian Tentang Hukum Humaniter Internasional Kebiasaan sebuah sumbangan bagi pemahaman dan penghormatan terhadap tertib hukum dalam konflik bersenjata” 87, No. 857 2005. Hutapea, R. U. 2013. 4700 Orang Tewas Akibat Serangan Pesawat Tanpa Awak AS sejak 2004. Detik News 21 Februari 2013. Diakses 23 agustus 2021. ICRC, “A Guide to the Legal Review of New Weapons, Means and Methods of Warfare Measures to Implement Article 36 0f Addition Protocol I of 1977” International Review of the Red Cross, Vol. 88, Desember 2006. ICRC, 2009, ABC Hukum Humaniter Internasional, Jakarta PT Antaresindo Pratama. Ishaq. 2017, Metode Penelitian Hukum dan Penulisan Skripsi, Tesis, Serta Disertasi. Bandung Alfa Beta. Jakob Kellenberger, “International Humanitarian Law and New WeaponTechnologies”, diakses tanggal 25 agustus 2021 Mangku, D. G. S. 2012. Suatu Kajian Umum tentang Penyelesaian Sengketa Internasional Termasuk di Dalam Tubuh ASEAN. Perspektif, 173. Mangku, D. G. S. 2021. Roles and Actions That Should Be Taken by The Parties In The War In Concerning Wound and Sick Or Dead During War or After War Under The Geneva Convention 1949. Jurnal Komunikasi Hukum JKH, 71, 170-178. Masyhur Effendi, 1994, Hukum Humaniter Internasional,Surabaya Penerbit Usaha Nasional Surabaya Indonesia Melzer, N. 2016. International Humanitarian Law A Comprehensive Introduction. Geneva ICRC. Natsri Anshari, 2005. Tanggung Jawab Komando menurut Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Jurnal Hukum Humaniter. Volume 1. Ulrike Esther Franke, “Drone Strikes, and US Policy The Politics of Unmanned Aerial Vehicles”, Parameters, Vol 44, Spring 2014. e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Ilmu Hukum Volume 5 Nomor 1 Maret 2022 13 US Government Accountability Office , july 2012, “Non-proliferation Agencies Could Improve Information Sharing and End-Use Monitoring on Unmanned Aerial Vehicle Exports”, diunduh tanggal 27 agustus 2021. Witny Tanod, Analisis Yuridis Terhadap Penggunaan Kekuatan Bersenjata Dengan Menggunakan Pesawat Tanpa Awak Unmanned Drones Dalam Hukum Internasional. Lex Crimen. Vol. 2, No. 1, 2013. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this of the Special Repporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions Study on Tergeted KillingsPhilip AlstonAlston, Philip. "Report of the Special Repporteur on Extrajudicial, Summary or Arbitrary Executions Study on Tergeted Killings." Challenges in International Human Rights Law 3, no. May 2017 Agencies Could Improve Information Sharing and End-Use Monitoring on Unmanned Aerial Vehicle ExportsAnalisis Yuridis US Government Accountability Office, july 2012, "Non-proliferation Agencies Could Improve Information Sharing and End-Use Monitoring on Unmanned Aerial Vehicle Exports", diunduh tanggal 27 agustus 2021.

ilmu tentang mempergunakan senjata